
Ketegangan Laut China Selatan Posisi Negara-Negara Asia Tenggara
admin
- 0
Laut China Selatan telah lama menjadi salah satu kawasan paling strategis sekaligus paling rentan SITUS TRISULA88 terhadap konflik di dunia. Laut ini merupakan jalur perdagangan utama yang menghubungkan Asia Timur dengan Asia Selatan dan Eropa, dengan lebih dari US$3 triliun perdagangan melewati perairannya setiap tahun. Selain itu, kawasan ini juga kaya akan sumber daya alam seperti ikan dan potensi cadangan minyak dan gas bawah laut.
Namun, ketegangan terus meningkat akibat klaim tumpang tindih atas wilayah ini, terutama klaim sepihak dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdasarkan “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) yang mencakup hampir 90% wilayah Laut China Selatan. Klaim ini ditentang oleh berbagai negara Asia Tenggara, yang juga memiliki klaim sah berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Peran dan Posisi Negara-Negara Asia Tenggara
Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN memiliki posisi yang berbeda-beda terkait konflik Laut China Selatan. Berikut adalah sikap beberapa negara kunci di kawasan ini:
1. Filipina
Filipina merupakan salah satu negara yang paling vokal menentang klaim Tiongkok. Pada tahun 2016, Filipina memenangkan gugatan terhadap Tiongkok di Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, yang menyatakan bahwa klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok tidak memiliki dasar hukum. Namun, Tiongkok menolak putusan tersebut. Meskipun pemerintahan sebelumnya sempat melunak terhadap Tiongkok, pemerintahan saat ini cenderung mengambil posisi yang lebih tegas, terutama setelah beberapa insiden penyerempetan kapal dan intimidasi terhadap nelayan Filipina.
2. Vietnam
Vietnam juga menentang klaim Tiongkok dan memiliki sejarah konflik maritim dengan negara tersebut, termasuk bentrokan berdarah di tahun 1974 dan 1988. Hanoi secara aktif membangun kekuatan maritimnya dan melakukan eksplorasi energi di wilayah yang diklaimnya. Vietnam menolak keras setiap aktivitas Tiongkok yang dianggap melanggar kedaulatannya, dan kerap menyerukan dukungan regional serta internasional untuk menghadapi tekanan Beijing.
3. Malaysia
Malaysia memiliki klaim atas beberapa bagian Laut China Selatan, khususnya di sekitar Sabah dan Sarawak. Meskipun tidak seekstrem Filipina dan Vietnam dalam menyuarakan penolakannya, Malaysia telah mengajukan klaim ke PBB pada tahun 2019 untuk mempertegas batas landas kontinen-nya. Kuala Lumpur juga mengalami ketegangan dengan Tiongkok akibat keberadaan kapal-kapal penjaga pantai dan survei geologi di wilayah yang diklaimnya.
4. Indonesia
Indonesia secara resmi tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, namun wilayah perairan Natuna seringkali dimasuki oleh kapal-kapal Tiongkok. Jakarta telah menegaskan bahwa klaim sembilan garis putus-putus melanggar UNCLOS dan menegaskan kedaulatannya atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Natuna. Pemerintah Indonesia meningkatkan patroli maritim dan pembangunan infrastruktur pertahanan di wilayah tersebut.
5. Brunei Darussalam
Brunei memiliki klaim yang lebih kecil dan relatif jarang menjadi sorotan dalam konflik ini. Negara ini cenderung mengambil pendekatan diplomatik yang tenang, serta menghindari konfrontasi langsung dengan Tiongkok. Namun, Brunei tetap mendukung prinsip penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan hukum internasional.
ASEAN dan Tantangan Konsensus
ASEAN, sebagai blok regional, berupaya memainkan peran sebagai penengah dalam konflik ini. Namun, perbedaan posisi antar anggotanya membuat sulit tercapainya konsensus tegas terhadap Tiongkok. Beberapa negara, seperti Kamboja dan Laos, cenderung dekat dengan Beijing secara ekonomi dan politik, sehingga menghambat sikap keras ASEAN secara keseluruhan.
ASEAN dan Tiongkok telah lama bernegosiasi untuk menyusun Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan. Namun, hingga kini belum ada kesepakatan yang mengikat secara hukum. Banyak pengamat menilai bahwa proses ini tertunda karena ketidaksepakatan atas ruang lingkup dan ketentuan pelaksanaan yang adil.
Peran Kekuatan Eksternal
Ketegangan Laut China Selatan tidak hanya menjadi perhatian regional, tetapi juga global. Amerika Serikat, Jepang, dan Australia secara aktif menantang klaim Tiongkok dengan melakukan operasi kebebasan navigasi (freedom of navigation operations) dan memperkuat kerja sama militer dengan negara-negara Asia Tenggara.
Ini menciptakan dinamika geopolitik yang kompleks, di mana negara-negara Asia Tenggara harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam rivalitas kekuatan besar, sambil tetap menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing.
Kesimpulan
Ketegangan di Laut China Selatan mencerminkan tarik-menarik antara kekuatan besar dan negara-negara kecil di Asia Tenggara yang berusaha mempertahankan hak maritim mereka. Meski ASEAN terus berusaha menjadi mediator damai, perbedaan internal dan tekanan eksternal membuat solusi jangka panjang sulit dicapai.