Alarm Ekonomi: Lonjakan Kebangkrutan di Jepang Capai Tingkat Tertinggi Sejak 2013
- admin
- 0
littlecellist.com – Laporan terbaru dari Tokyo Shoko Research menunjukkan peningkatan tajam dalam jumlah kebangkrutan perusahaan di Jepang, dengan total mencapai 1.009 perusahaan pada Mei 2024. Angka ini menandai kenaikan sebesar 42,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dan merupakan pertama kalinya jumlah kebangkrutan melebihi 1.000 sejak Juli 2013, menurut laporan dari The Japan Times.
Kenaikan tersebut terjadi di tengah berbagai tantangan ekonomi, termasuk kenaikan harga dan kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor jasa. Data kebangkrutan yang dilaporkan melibatkan utang sebesar 10 juta yen Jepang atau lebih, setara dengan lebih dari Rp1 miliar (dengan asumsi kurs Rp103,69 per yen Jepang).
Secara lebih rinci, total utang yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan yang bangkrut mengalami penurunan sebesar 50,9% menjadi 137 miliar yen Jepang, atau sekitar Rp14,21 triliun. Penurunan ini terjadi setelah angka tahun sebelumnya dipengaruhi oleh kebangkrutan sebuah perusahaan besar.
Dari aspek industri, sektor manufaktur dan transportasi yang banyak melibatkan subkontraktor mengalami peningkatan kebangkrutan sebesar 47,4%, dengan 87 perusahaan terdampak. Kenaikan harga telah mempersulit banyak bisnis kecil untuk meneruskan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen.
Selain itu, kebangkrutan di antara perusahaan yang memanfaatkan program pinjaman tanpa bunga dan jaminan yang diperkenalkan selama pandemi COVID-19 juga menunjukkan tren peningkatan, dengan 67 kasus baru, naik 15,5%.
Secara khusus, sektor jasa mencatat rekor kebangkrutan bulanan tertinggi dengan 327 kasus, dengan operator restoran paling terpukul karena kekurangan tenaga kerja dan peningkatan biaya tenaga kerja. Selanjutnya, laporan tersebut mencatat bahwa kebangkrutan meningkat di semua sembilan wilayah di Jepang, hal ini terjadi untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan terakhir.
Tokyo Shoko Research mengingatkan bahwa jumlah kebangkrutan yang terkait dengan inflasi diperkirakan akan terus meningkat, mengingat banyak perusahaan menghadapi kesulitan untuk sepenuhnya membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen, ditambah dengan pelemahan nilai tukar yen terhadap dolar AS.